Museum Konferensi Asia Afrika
Konferensi
Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18 sampai
dengan 24 April 1955 mencapai kesuksesan besar, baik dalam mempersatukan
sikap dan menyusun pedoman kerja sama di antara bangsa-bangsa Asia
Afrika maupun dalam ikut serta membantu terciptanya ketertiban dan
perdamaian dunia. Konferensi ini melahirkan Dasa Sila Bandung yang
kemudian menjadi pedoman bangsa-bangsa terjajah di dunia dalam
perjuangan memperoleh kemerdekaannya dan yang kemudian menjadi
prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama
dunia. Kesuksesan konferensi ini tidak hanya tampak pada masa itu,
tetapi juga terlihat pada masa sesudahnya, sehingga jiwa dan semangat
Konferensi Asia Afrika menjadi salah satu faktor penting yang menentukan
jalannya sejarah dunia. Semua itu merupakan prestasi besar yang dicapai
oleh bangsa-bangsa Asia Afrika.
Jiwa
dan semangat Konferensi Bandung telah berhasil memperbesar volume kerja
sama antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika, sehingga peranan dan pengaruh
mereka dalam hubungan percaturan internasional meningkat dan disegani.
Dalam rangka membina dan melestarikan hal tersebut, adalah penting dan
tepat jika Konferensi Asia Afrika beserta peristiwa, masalah, dan
pengaruh yang mengitarinya diabadikan dalam sebuah museum di tempat
konferensi itu berlangsung, yaitu di Gedung Merdeka di Kota Bandung,
kota yang dipandang sebagai ibu kota dan sumber inspirasi bagi
bangsa-bangsa Asia Afrika. Sebagai Menteri Luar Negeri Republik
Indonesia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., sering bertemu
muka dan berdialog dengan para pemimpin negara dan bangsa Asia Afrika.
Dalam kesempatan-kesempatan tersebut beliau sering mendapat pertanyaan
dari mereka tentang Gedung Merdeka dan Kota Bandung tempat
diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Berulang kali pembicaraan
tersebut diakhiri oleh pernyataan keinginan mereka untuk dapat
mengunjungi Kota Bandung dan Gedung Merdeka.
Terilhami
oleh hal tersebut serta kehendak untuk mengabadikan Konferensi Asia
Afrika, maka lahirlah gagasan beliau untuk mendirikan Museum Konperensi
Asia Afrika di Gedung Merdeka ini. Gagasan tersebut dilontarkan dalam
forum rapat Panitia Peringatan 25 tahun Konferensi Asia Afrika (1980)
yang dihadiri antara lain Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Haryati
Soebadio sebagai wakil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ternyata gagasan itu mendapat sambutan baik, termasuk dari Presiden RI
Soeharto. Gagasan pendirian Museum Konperensi Asia Afrika diwujudkan
oleh Joop Ave sebagai Ketua Harian Panitia Peringatan 25 Tahun
Konferensi Asia Afrika dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler
Departemen Luar Negeri, bekerja sama dengan Departemen Penerangan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah daerah Tingkat I
Propinsi Jawa Barat, dan Universitas Padjadjaran. Perencanaan dan
pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh PT. Decenta, Bandung. Museum
Konperensi Asia Afrika diresmikan berdirinya oleh Presiden RI Soeharto
pada tanggal 24 April 1980 sebagai puncak peringatan 25 tahun Konferensi
Asia Afrika. GEDUNG MERDEKA (Tempat Berlangsungnya Konferensi Asia
Afrika). Tahun 1895 Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika
Nomor 65 Bandung, dibangun pertama kali pada tahun 1895 sebagai tempat
berkumpulnya orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di
Bandung dan sekitarnya. Banyak di antara mereka adalah pengusaha kebun
teh dan opsir Belanda. Mereka mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal
dengan nama Societeit Concordia pada tanggal 29 Juni 1879. Tujuannya
adalah "de bevordering van gezellig verkeera". Sebagai tempat pertemuan,
sebelumnya mereka biasa berkumpul, duduk-duduk sambil minum teh, di
Warung De Vries.
Selanjutnya
(1895) mereka pindah ke gedung di seberang Warung De Vries, yang diberi
nama Concordia, dengan luas tanah 7.983 meter persegi. Pada tahun
tersebut tempat ini hanya berupa bangunan sederhana, yang sebagian
dindingnya terbuat dari papan dan penerangan halamannya memakai lentera
minyak tanah. Bangunan ini berada di sudut jalan "Groote Postweg"
(sekarang Jalan Asia Afrika) dan "Bragaweg" (sekarang Jalan Braga). Sisi
sebelah kanannya berdekatan dengan kali Tjikapoendoeng (Cikapundung)
yang sejuk karena banyak ditumbuhi pohon rindang. TAHUN 1921 Gedung
Societeit Concordia dibangun kembali pada tahun 1921 dengan gaya
arsitektur modern (Art Deco) yang fungsional dan lebih menonjolkan
struktur oleh perancang C.P. Wolff Schoemaker. Gedung ini berubah wajah
menjadi gedung pertemuan "super club" yang paling mewah, lengkap,
eksklusif, dan modern di Nusantara. Lantainya terbuat dari marmer buatan
Italia. Ruangan-ruangan tempat minum dan bersantai terbuat dari kayu
cikenhout. Penerangannya menggunakan lampu-lampu hias kristal.
Ruangan-ruangan dalam gedung cukup memadai untuk menampung
kegiatan-kegiatan pertunjukan kesenian. Luas seluruh tanahnya 7.500 m2.
Tahun
1940 Societeit Concordia kembali mengalami perombakan pada tahun 1940
dengan gaya arsitektur International Style dengan bantuan arsitek A.F.
Aalbers. Bangunan gaya arsitektur ini bercirikan dinding tembok
plesteran dengan atap mendatar, tampak depan bangunan terdiri dari garis
dan elemen horizontal, sedangkan bagian gedung bercorak kubistis. Pada
masa pendudukan tentara Jepang (1942-1945), Gedung Societeit Concordia
berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan dan difungsikan sebagai pusat
kebudayaan. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, gedung tersebut dijadikan markas para pemuda
Indonesia di Bandung guna menghadapi tentara Jepang yang tidak bersedia
menyerahkan kekuasaannya.
Sekitar
tahun 1949, sejak pemerintahan pendudukan, Gedung Societeit Concordia
diperbaiki dan difungsikan kembali sebagai Societeit Concordia, tempat
pertemuan orang-orang Eropa (termasuk juga beberapa orang Indonesia). Di
gedung ini kembali seperti biasa diselenggarakan lagi pertunjukan
kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum lainnya. TAHUN 1955
Sehubungan dengan keputusan pemerintah Indonesia (1954) yang menetapkan
Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Societeit
Concordia terpilih sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Hal ini
disebabkan gedung tersebut adalah gedung tempat pertemuan umum yang
paling besar dan paling megah di Bandung. Selain itu lokasinya berada di
tengah-tengah kota dan berdekatan dengan hotel terbaik, yaitu Hotel
Savoy Homann dan Preanger.
Sejak
awal tahun 1955, Gedung Societeit Concordia mulai dipugar untuk
disesuaikan kegunaannya sebagai tempat penyelenggaraan konferensi
bertaraf internasional. Pemugaran gedung ditangani oleh Jawatan
Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Ir. R. Srigati
Santoso. Menjelang konferensi (7 April 1955), gedung ini diganti namanya
oleh Presiden Soekarno menjadi Gedung Merdeka. Untuk informasi lebih
lajut, silakan kunjungi website resmi Museum Konferensi Asia Afrika.
Historical
Building Museum of The Asian-African Conference Pictures The
Asian-African Conference which was held on 18th to 24th April 1955 in
Bandung gained a big success both in formulating common concerns and in
preparing operational guidance for cooperation among Asian African
Nation as well as in creating world order and world peace. The
conference has had a result Dasasila Bandung, which became the guideline
for the colonized countries in fighting for their independence. It also
became the fundamental principles in promoting world peace and
international cooperation. The success of the conference was not only
for the time being but also for the time after so that the soul and
spirit of the Asian-African Conference becomes one of the most important
factor that deciding world history. All is a huge prestige that gained
by the Asian African Nations.
The
spirit of Bandung had succeeded in widening the work volume among Asian
African Nations. As a consequence, their influence and their role in
international cooperation are increased and more respected. In order to
maintain those mentions above, it is important if the Asian-African
Conference with its event is maintained eternally in a museum where the
conference was held, Gedung Merdeka, Bandung, a city that is considered
as a capital city and a source of inspiration for the Asian-African
Nations. As a Minister of Foreign Affairs, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M., often met and got involved in some
discussions with some of the Asian African Leaders. They frequently
asked him about Gedung Merdeka and City of Bandung, which was the venue
of the Asian-African Conference. The discussions were always ended with
their wishes to be able to visit Bandung and Gedung Merdeka.
Inspired
by desires to eternalize the Asian-African Conference, the idea of
establishing a Museum of the Asian-African Conference in Gedung Merdeka
was born by Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.. The idea was
delivered in the meeting of the Committee for the Commemoration of the
25th Anniversary of the Asian-African Conference (1980), which was
attended by Directorate General of Culture, Prof. Dr. Haryati Soebadio
as a representative for the Department of Culture and Education.
Fortunately, the idea was fully supported including President of the
Republic of Indonesia, Soeharto. The idea of establishing the Museum of
the Asian-African Conference had been materialized by Joop Ave, the
Executive Chairman of the Committee of the 25th Anniversary of the
Asian-African Conference and Director General of Protocol and Consular
in the Department of Foreign Affairs in cooperation with Department of
Information, Department of Education and Culture, the Provincial
Government of West Java, and Padjadjaran University. The technical
planning and its execution was carried out by PT Decenta, Bandung. The
Museum of the Asian-African Conference was inaugurated by President of
the Republic of Indonesia, Soeharto on 24th April 1980 as the
culmination of the 25th Anniversary of the Asian-African Conference.
Gedung Merdeka (The Venue of the Asian African Conference) YEAR 1895
Gedung Merdeka located on Jalan Asia Afrika Number 65Bandung was built
in 1895 as a meeting place for European people, especially who lived in
Bandung and its surroundings. Most of them were the owner of the tea
plantation and Dutch officers. They established a society which was well
known as Societeit Concordia on 29th June 1879. The purpose of the
society was "de bevordering van gezellig verkeer". As a meeting place,
at first they used to gather having some tea in the Warung De Vries.
Afterwards,
(1895) they moved in to a building opposite to the Warung De Vries,
named Concordia which takes 7.983 meter square. In that year, the
building was a simple one which its walls were made of wood and the
source of its light at night were only gasoline lanterns. The building
was located in the corner of "Groote Postweg" (now Jalan Asia Afrika)
and "Bragaweg" (now Jalan Braga). Its left wing is next to
Tjikapoendoeng River (Cikapundung) which was very comfortable since
there were many thick trees grew. YEAR 1921 Societeit Concordia Building
was rebuilt in 1921 in a more functional and structural modern
architecture (Art Deco) by designer C. P Wolff Schoemaker. The building
modified its fade and became the most luxurious, complete, exclusive and
modern "super club" building in Indonesia. The floors were made of
Italian marbles. The bar and common room were made of cikenhout wood,
while the gorgeous crystal chandeliers were the lamplights. The rooms
inside the building had a capacity to accommodate various art
performances. The land covered 7,500 m2.
Year
1940 Societeit Concordia was renovated again in 1940 with new
international style architecture with the help of Architect A. F
Aalbers. This new architecture style was marked by plasterboard with a
flat roof. The front part of the building consisted of lines and
horizontal elements, while inside of the building was dominated by
cubism style. During the Japanese occupation (1942-1945), the name of
Societeit Concordia Building was changed into Dai Toa Kaikan and
functioned as the cultural centre. After Indonesian proclamation of
independence on August 17, 1945, the building was used as the
headquarter of Indonesian youth in Bandung in order to fight the
Japanese troops who were not willing to surrender.
Since
1949, in the occupation government, Societeit Concordia Building was
renovated and refunctioned as Societeit Concordia, the gathering place
of Europeans (including some of Indonesians) The building was again used
for art performances, parties, restaurants and other gatherings as
well. Year 1955 Regarding Indonesian Government decree (1954) to
inaugurate Bandung as the city of Asian-African, Societeit Concordia
Building was chosen as the venue for the conference, because it was the
biggest and most luxurious building in Bandung. Furthermore, it was
located in the middle of the city and close to the best hotels in town,
Savoy Homann and Preanger Hotel.
Since
the beginning of 1955, Societiet Concordia Building was started to be
renovated to accommodate its function as the venue for international
conference. The renovation was managed by Department of Public Works,
Province of West Java, headed by Ir. R. Srigati Santoso. Prior to the
conference, the building was renamed by President Soekarno and became
Gedung Merdeka (April 7, 1955).
http://www.bandungtourism.com/tododet.php?q=Museum%20Konferensi%20Asia%20Afrika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar