Jumat, 13 Maret 2015

Museum Konferensi Asia Afrika
Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18 sampai dengan 24 April 1955 mencapai kesuksesan besar, baik dalam mempersatukan sikap dan menyusun pedoman kerja sama di antara bangsa-bangsa Asia Afrika maupun dalam ikut serta membantu terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia. Konferensi ini melahirkan Dasa Sila Bandung yang kemudian menjadi pedoman bangsa-bangsa terjajah di dunia dalam perjuangan memperoleh kemerdekaannya dan yang kemudian menjadi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Kesuksesan konferensi ini tidak hanya tampak pada masa itu, tetapi juga terlihat pada masa sesudahnya, sehingga jiwa dan semangat Konferensi Asia Afrika menjadi salah satu faktor penting yang menentukan jalannya sejarah dunia. Semua itu merupakan prestasi besar yang dicapai oleh bangsa-bangsa Asia Afrika.

Jiwa dan semangat Konferensi Bandung telah berhasil memperbesar volume kerja sama antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika, sehingga peranan dan pengaruh mereka dalam hubungan percaturan internasional meningkat dan disegani. Dalam rangka membina dan melestarikan hal tersebut, adalah penting dan tepat jika Konferensi Asia Afrika beserta peristiwa, masalah, dan pengaruh yang mengitarinya diabadikan dalam sebuah museum di tempat konferensi itu berlangsung, yaitu di Gedung Merdeka di Kota Bandung, kota yang dipandang sebagai ibu kota dan sumber inspirasi bagi bangsa-bangsa Asia Afrika. Sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., sering bertemu muka dan berdialog dengan para pemimpin negara dan bangsa Asia Afrika. Dalam kesempatan-kesempatan tersebut beliau sering mendapat pertanyaan dari mereka tentang Gedung Merdeka dan Kota Bandung tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Berulang kali pembicaraan tersebut diakhiri oleh pernyataan keinginan mereka untuk dapat mengunjungi Kota Bandung dan Gedung Merdeka.

Terilhami oleh hal tersebut serta kehendak untuk mengabadikan Konferensi Asia Afrika, maka lahirlah gagasan beliau untuk mendirikan Museum Konperensi Asia Afrika di Gedung Merdeka ini. Gagasan tersebut dilontarkan dalam forum rapat Panitia Peringatan 25 tahun Konferensi Asia Afrika (1980) yang dihadiri antara lain Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Soebadio sebagai wakil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ternyata gagasan itu mendapat sambutan baik, termasuk dari Presiden RI Soeharto. Gagasan pendirian Museum Konperensi Asia Afrika diwujudkan oleh Joop Ave sebagai Ketua Harian Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, bekerja sama dengan Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat, dan Universitas Padjadjaran. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh PT. Decenta, Bandung. Museum Konperensi Asia Afrika diresmikan berdirinya oleh Presiden RI Soeharto pada tanggal 24 April 1980 sebagai puncak peringatan 25 tahun Konferensi Asia Afrika. GEDUNG MERDEKA (Tempat Berlangsungnya Konferensi Asia Afrika). Tahun 1895 Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika Nomor 65 Bandung, dibangun pertama kali pada tahun 1895 sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di Bandung dan sekitarnya. Banyak di antara mereka adalah pengusaha kebun teh dan opsir Belanda. Mereka mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal dengan nama Societeit Concordia pada tanggal 29 Juni 1879. Tujuannya adalah "de bevordering van gezellig verkeera". Sebagai tempat pertemuan, sebelumnya mereka biasa berkumpul, duduk-duduk sambil minum teh, di Warung De Vries.

Selanjutnya (1895) mereka pindah ke gedung di seberang Warung De Vries, yang diberi nama Concordia, dengan luas tanah 7.983 meter persegi. Pada tahun tersebut tempat ini hanya berupa bangunan sederhana, yang sebagian dindingnya terbuat dari papan dan penerangan halamannya memakai lentera minyak tanah. Bangunan ini berada di sudut jalan "Groote Postweg" (sekarang Jalan Asia Afrika) dan "Bragaweg" (sekarang Jalan Braga). Sisi sebelah kanannya berdekatan dengan kali Tjikapoendoeng (Cikapundung) yang sejuk karena banyak ditumbuhi pohon rindang. TAHUN 1921 Gedung Societeit Concordia dibangun kembali pada tahun 1921 dengan gaya arsitektur modern (Art Deco) yang fungsional dan lebih menonjolkan struktur oleh perancang C.P. Wolff Schoemaker. Gedung ini berubah wajah menjadi gedung pertemuan "super club" yang paling mewah, lengkap, eksklusif, dan modern di Nusantara. Lantainya terbuat dari marmer buatan Italia. Ruangan-ruangan tempat minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout. Penerangannya menggunakan lampu-lampu hias kristal. Ruangan-ruangan dalam gedung cukup memadai untuk menampung kegiatan-kegiatan pertunjukan kesenian. Luas seluruh tanahnya 7.500 m2.

Tahun 1940 Societeit Concordia kembali mengalami perombakan pada tahun 1940 dengan gaya arsitektur International Style dengan bantuan arsitek A.F. Aalbers. Bangunan gaya arsitektur ini bercirikan dinding tembok plesteran dengan atap mendatar, tampak depan bangunan terdiri dari garis dan elemen horizontal, sedangkan bagian gedung bercorak kubistis. Pada masa pendudukan tentara Jepang (1942-1945), Gedung Societeit Concordia berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan dan difungsikan sebagai pusat kebudayaan. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gedung tersebut dijadikan markas para pemuda Indonesia di Bandung guna menghadapi tentara Jepang yang tidak bersedia menyerahkan kekuasaannya.

Sekitar tahun 1949, sejak pemerintahan pendudukan, Gedung Societeit Concordia diperbaiki dan difungsikan kembali sebagai Societeit Concordia, tempat pertemuan orang-orang Eropa (termasuk juga beberapa orang Indonesia). Di gedung ini kembali seperti biasa diselenggarakan lagi pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum lainnya. TAHUN 1955 Sehubungan dengan keputusan pemerintah Indonesia (1954) yang menetapkan Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Societeit Concordia terpilih sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Hal ini disebabkan gedung tersebut adalah gedung tempat pertemuan umum yang paling besar dan paling megah di Bandung. Selain itu lokasinya berada di tengah-tengah kota dan berdekatan dengan hotel terbaik, yaitu Hotel Savoy Homann dan Preanger.

Sejak awal tahun 1955, Gedung Societeit Concordia mulai dipugar untuk disesuaikan kegunaannya sebagai tempat penyelenggaraan konferensi bertaraf internasional. Pemugaran gedung ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Ir. R. Srigati Santoso. Menjelang konferensi (7 April 1955), gedung ini diganti namanya oleh Presiden Soekarno menjadi Gedung Merdeka. Untuk informasi lebih lajut, silakan kunjungi website resmi Museum Konferensi Asia Afrika.
Historical Building Museum of The Asian-African Conference Pictures The Asian-African Conference which was held on 18th to 24th April 1955 in Bandung gained a big success both in formulating common concerns and in preparing operational guidance for cooperation among Asian African Nation as well as in creating world order and world peace. The conference has had a result Dasasila Bandung, which became the guideline for the colonized countries in fighting for their independence. It also became the fundamental principles in promoting world peace and international cooperation. The success of the conference was not only for the time being but also for the time after so that the soul and spirit of the Asian-African Conference becomes one of the most important factor that deciding world history. All is a huge prestige that gained by the Asian African Nations.

The spirit of Bandung had succeeded in widening the work volume among Asian African Nations. As a consequence, their influence and their role in international cooperation are increased and more respected. In order to maintain those mentions above, it is important if the Asian-African Conference with its event is maintained eternally in a museum where the conference was held, Gedung Merdeka, Bandung, a city that is considered as a capital city and a source of inspiration for the Asian-African Nations. As a Minister of Foreign Affairs, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., often met and got involved in some discussions with some of the Asian African Leaders. They frequently asked him about Gedung Merdeka and City of Bandung, which was the venue of the Asian-African Conference. The discussions were always ended with their wishes to be able to visit Bandung and Gedung Merdeka.

Inspired by desires to eternalize the Asian-African Conference, the idea of establishing a Museum of the Asian-African Conference in Gedung Merdeka was born by Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.. The idea was delivered in the meeting of the Committee for the Commemoration of the 25th Anniversary of the Asian-African Conference (1980), which was attended by Directorate General of Culture, Prof. Dr. Haryati Soebadio as a representative for the Department of Culture and Education. Fortunately, the idea was fully supported including President of the Republic of Indonesia, Soeharto. The idea of establishing the Museum of the Asian-African Conference had been materialized by Joop Ave, the Executive Chairman of the Committee of the 25th Anniversary of the Asian-African Conference and Director General of Protocol and Consular in the Department of Foreign Affairs in cooperation with Department of Information, Department of Education and Culture, the Provincial Government of West Java, and Padjadjaran University. The technical planning and its execution was carried out by PT Decenta, Bandung. The Museum of the Asian-African Conference was inaugurated by President of the Republic of Indonesia, Soeharto on 24th April 1980 as the culmination of the 25th Anniversary of the Asian-African Conference. Gedung Merdeka (The Venue of the Asian African Conference) YEAR 1895 Gedung Merdeka located on Jalan Asia Afrika Number 65Bandung was built in 1895 as a meeting place for European people, especially who lived in Bandung and its surroundings. Most of them were the owner of the tea plantation and Dutch officers. They established a society which was well known as Societeit Concordia on 29th June 1879. The purpose of the society was "de bevordering van gezellig verkeer". As a meeting place, at first they used to gather having some tea in the Warung De Vries.

Afterwards, (1895) they moved in to a building opposite to the Warung De Vries, named Concordia which takes 7.983 meter square. In that year, the building was a simple one which its walls were made of wood and the source of its light at night were only gasoline lanterns. The building was located in the corner of "Groote Postweg" (now Jalan Asia Afrika) and "Bragaweg" (now Jalan Braga). Its left wing is next to Tjikapoendoeng River (Cikapundung) which was very comfortable since there were many thick trees grew. YEAR 1921 Societeit Concordia Building was rebuilt in 1921 in a more functional and structural modern architecture (Art Deco) by designer C. P Wolff Schoemaker. The building modified its fade and became the most luxurious, complete, exclusive and modern "super club" building in Indonesia. The floors were made of Italian marbles. The bar and common room were made of cikenhout wood, while the gorgeous crystal chandeliers were the lamplights. The rooms inside the building had a capacity to accommodate various art performances. The land covered 7,500 m2.

Year 1940 Societeit Concordia was renovated again in 1940 with new international style architecture with the help of Architect A. F Aalbers. This new architecture style was marked by plasterboard with a flat roof. The front part of the building consisted of lines and horizontal elements, while inside of the building was dominated by cubism style. During the Japanese occupation (1942-1945), the name of Societeit Concordia Building was changed into Dai Toa Kaikan and functioned as the cultural centre. After Indonesian proclamation of independence on August 17, 1945, the building was used as the headquarter of Indonesian youth in Bandung in order to fight the Japanese troops who were not willing to surrender.

Since 1949, in the occupation government, Societeit Concordia Building was renovated and refunctioned as Societeit Concordia, the gathering place of Europeans (including some of Indonesians) The building was again used for art performances, parties, restaurants and other gatherings as well. Year 1955 Regarding Indonesian Government decree (1954) to inaugurate Bandung as the city of Asian-African, Societeit Concordia Building was chosen as the venue for the conference, because it was the biggest and most luxurious building in Bandung. Furthermore, it was located in the middle of the city and close to the best hotels in town, Savoy Homann and Preanger Hotel.

Since the beginning of 1955, Societiet Concordia Building was started to be renovated to accommodate its function as the venue for international conference. The renovation was managed by Department of Public Works, Province of West Java, headed by Ir. R. Srigati Santoso. Prior to the conference, the building was renamed by President Soekarno and became Gedung Merdeka (April 7, 1955).

 http://www.bandungtourism.com/tododet.php?q=Museum%20Konferensi%20Asia%20Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar