Jumat, 13 Maret 2015

Makna Gotong Royong

OPINI | 27 February 2014 | 01:25 Dibaca: 3000   Komentar: 0   0
13934390031298564850
Ilustrasi oleh: Saharudin Dae
“Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua”.
Demikian sepenggal ungkapan pidato Presiden Soekarno untuk menjadikan gotong royong sebagai landasan semangat membangun bangsa. Hal itu disampaikannya kepada seluruh peserta sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
Gotong royong bukanlah pameo asing di negeri ini, sudah sejak dulu para leluhur kita menjadikannya sebagai budaya bangsa. Wujudnya bisa dalam bentuk kerja bakti membangun sarana umum, membersihkan lingkungan, tolong menolong saat pesta pernikahan atau upacara adat, dan bahkan tolong menolong saat terjadi bencana alam. Biasanya bentuk pertolongan yang diberikan berupa bahan makanan, uang, dan tenaga.
Namun, derasnya arus globalisasi menjadikan aktualisasi dari pameo tersebut terseret jauh dari kehidupan masyarakat saat ini, gotong royong menjadi asing untuk disaksikan keberadaannya saat ini. Kita perlu jujur dan tidak lagi berpura-pura menutup mata pada kenyataan hari ini, bahwa gotong royong telah menjadi ‘budaya langka’. Benarkah demikian? Lantas, dimanakah ia kini berada? Mengapa nilai luhur yang pernah menjadi jati diri bangsa kini menjadi asing di negerinya sendiri?
Untuk menjawabnya, mari kita awali dengan membahas subjek dari topik ini terlebih dulu, yaitu manusia. Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani mengemukakan pendapatnya bahwa sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia senantiasa saling membutuhkan satu sama lainnya guna mewujudkan keselarasan hubungan antara sesama anggota masyarakat lainnya. Artinya, di dalam setiap diri manusia pasti terdapat jiwa sosial, atau naluri saling membutuhkan satu sama lain. Dari urusan lahir hingga urusan liang lahat, manusia tidak bisa mengurusnya seorang diri. Hal inilah yang menjadi fitrah dari setiap manusia sebagai individu sekaligus mahluk sosial. Dengan demikian, paham individualisme yang selalu melihat segala hal dari kacamata ‘aku’, atau menonjolkan ego pribadi tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai mahluk sosial.
Pudarnya Budaya Gotong Royong
Seiring berjalannya waktu, semangat kebersamaan pasca kemerdekaan Indonesia seolah terpinggirkan, dikucilkan atau disudutkan hanya kepada penduduk di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat kota. Seolah istilah gotong royong menjadi ‘frasa kampungan’ bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kota. Masyarakat kota cenderung mengandalkan dinas kebersihan untuk urusan kebersihan atau satpam/hansip untuk urusan keamanan lingkungan. Sehingga gotong royong seolah hanya cocok diterapkan di wilayah perkampungan saja, sedangkan masyarakat kota tidak perlu lagi menerapkannya.
Salah satu sebabnya adalah adanya miskonsepsi dari sebuah istilah populer “modernisasi”. Istilah modernisasi sepatutnya membantu tercapainya tujuan bersama, bukan melahirkan para individualis yang hanya selalu mengedepankan ego sesaat mereka. Apakah itu ego dalam bentuk mengejar kepuasan materi, seksual dan gengsi (red: posisi/jabatan), pastinya ketiga hal itu tidak akan pernah terpuaskan. Ibarat menyiram bara api dengan minyak tanah yang hanya akan membuat api menjadi lebih besar, seperti itulah para manusia individualis mengejar tujuan hidupnya yang tidak pernah terpuaskan.
Manusia yang belajar dari pengalaman hidupnya pasti akan menemukan bahwa hidup bermasyarakat secara damai dan penuh keselarasan adalah suatu kebutuhan yang kemudian akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Mengutip pendapat Umar Kayam di majalah Prisma No. 3 Th XVI 1987:
Bahwa sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak, ketika pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, maka pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap yang lain.
Hal tersebut menjelaskan bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang mendambakan keselarasan berujung perdamaian, bukan kekerasan berujung perpecahan seperti yang sering terjadi hari ini. Berdasarkan pengalamannya, akhirnya manusia memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya diperlukan upaya bekerja bersama orang lain, atau upaya interaksi yang dibatasi oleh koridor tatanan yang berlaku pada masyarakat di lingkungan tempatnya menetap.
Namun pada kenyataannya, sudah begitu banyak yang menyerukan pesan cinta damai, tapi yang terjadi justru “perang” semakin ramai. Mengapa terjadi hal yang demikian? Bukankah setiap agama di dunia mengajarkan perdamaian? Tapi kenapa pertikaian atau konflik berujung tindak kekerasan begitu mudah ditemui, bahkan semakin ironis ketika agama justru menjadi salah satu pemicunya. Seperti apa yang pernah terjadi di Poso, Maluku, Madura, dan Aceh pada level nasional, dan di Palestina, Afghanistan, Irak, Mesir dan Suriah pada level internasional.
Sekali lagi, kenyataan membuktikan bahwa hari ini telah terjadi kebekuan spiritual yang menyebabkan hubungan kasih antara sesama manusia menjadi dingin. Apabila kebekuan spiritual tersebut tidak segera dicairkan, maka budaya kekerasan akan senantiasa mewarnai hidup dan kehidupan manusia seterusnya. Hal itu akan terus terjadi selama masih ada sekumpulan manusia yang menyampaikan kebenaran versi golongannya masing-masing, terlebih dengan cara memaksa. Sehingga friksi berujung konflik pasti akan terus terjadi.
Jika hal yang demikian terus terjadi, lantas kemanakah fitrah manusia yang katanya “mahluk sosial” dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi? Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda, berbangsa-bangsa, bersuku-suku untuk saling mengenal? Perihal ini, ada beberapa pendapat yang dikemukakan para pakar untuk menjawab persoalan ini, diantaranya adalah pakar antropologi, Koentjaraningrat. Beliau menjelaskan bahwa seringkali yang menjadi faktor pemicu konflik adalah adanya unsur pemaksaan paham/keyakinan suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya. Biasanya, unsur pemaksaan ini terjadi karena adanya pola pikir sempit atau “fanatisme buta” para penganutnya yang menjadikan mereka lupa memaknai istilah “mahluk sosial”.
Terbentuknya pola pikir tersebut bukan tanpa sebab. Era digital atau teknologi informasi saat ini adalah salah satu yang saat ini relevan untuk turut membidani lahirnya pola pikir tersebut. Yasraf Amir Piliang, di dalam bukunya yang berjudul Dunia Yang Berlari: Mencari Tuhan-Tuhan Digital, menuliskan bahwa setidaknya ada tiga tingkat yang mengubah cara kita melihat manusia sebagai mahluk sosial, bahkan cara kita memaknai istilah “sosial”.
Pertama, pada tingkat individu, teknologi informasi telah mengubah pemahaman kita tentang identitas. Media komunikasi yang dijembatani oleh komputer telah melenyapkan batas-batas identitas. Di dalamnya setiap orang bisa menjadi  orang lain, atau seakan-akan menjadi beberapa orang yang berbeda pada waktu bersamaan. Kekacauan identitas tersebut akan mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas, dan gaya hidup setiap orang. Singkatnya, teknologi informasi yang telah membidani lahirnya dunia maya, rentan menjadi dunia yang anonim (tanpa identitas). Dan pada tingkat individu, media komunikasi dalam era teknologi informasi dapat menciptakan satu ketergantungan. Ia dapat menjadi semacam “candu” yang dapat menciptakan “kecanduan komunikasi”, sehingga orang dapat berjam-jam duduk di belakang komputer, hanyut di dalam dunia maya internet.
Kedua, pada tingkat “interaksi antar-individual” atau “interaksi sosial”. Interaksi sosial di dunia maya cenderung tidak dilakukan di dalam sebuah ruang teritorial (tempat) yang nyata (dalam pengertian konvensional), akan tetapi terjadi dalam sebuah halusinasi teritorial. Di dalam halusinasi teritorial tersebut, orang boleh jadi lebih mengenal seorang teman dekatnya di internet yang tinggalnya ribuan kilometer, ketimbang tetangga dekatnya sendiri. Bahkan, boleh jadi ia lebih mengenal “saudara”-nya di internet ketimbang “saudara” kandungnya sendiri.
Ketiga, pada tingkat “komunitas virtual”. Perbedaan mendasar antara komunitas tradisional dan komunitas virtual adalah bahwa pada komunitas tradisional atau masyarakat pada umumnya memiliki konvensi (kesepakatan) sosial atau aturan/hukum seperti hukum adat, memiliki lembaga hukum (yudikatif), serta memiliki pemimpin. Sedangkan pada komunitas virtual, pemimpin, aturan main dan kontrol sosial yang demikian boleh dikatakan tidak ada. Setiap orang seakan menjadi pemimpin, pengontrol, dan penilai dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian berkembang menjadikan komunitas virtual rentan melahirkan masyarakat “anarkis”, karena di dalamnya “apa pun boleh”. Tidak ada batasan hukum, tidak ada batasan moral, bahkan tidak ada batasan sama sekali. Dengan demikian, komunitas ini dianggap sangat rapuh, bahkan berpotensi untuk memicu suasana chaos (tidak teratur).

Konsekuensi Massal Jika Gotong Royong Ditinggalkan
Memudarnya nilai gotong royong dapat terjadi apabila rasa kebersamaan mulai menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi bersifat sukarela, bahkan hanya dinilai dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk keuntungan materi, akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi mereka yang memiliki dan membayar dengan uang. Kondisi yang serba materi seperti saat ini telah menjadikan nilai-nilai kebersamaan yang luhur semakin luntur dan tidak lagi bernilai.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, tentu kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi jika gotong royong semakin tersingkirkan, digantikan nilai-nilai individualisme yang lahir dari perkawinan antara kapitalisme dan neoliberalisme. Apa yang  terjadi kemudian adalah semakin mudahnya bangsa ini dipecah-belah, dikotak-kotakan, dan diadu-domba oleh pihak asing yang tentu akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Imbasnya, warna merah putih yang sejatinya identitas kita akan terancam pudar, seiring dengan pudarnya semangat gotong royong itu sendiri.
Senada dengan hal tersebut, Djuyoto Suntani telah menuangkan gagasannya dalam buku berjudul Tahun 2015, Indonesia “Pecah”. Menurutnya, Indonesia kini juga sedang digarap untuk dipecah-pecah menjadi sekitar 17 negara bagian oleh kekuatan kelompok kapitalisme dan neoliberalisme, yang berakar pada paham sekularisme. Sebabnya adalah tidak ada figur atau tokoh pemersatu yang berperan menjadi Bapak Seluruh Bangsa, pertengkaran sesama anak bangsa yang terus terjadi di tengah upaya strategis dari konspirasi global, dan adanya nama Indonesia yang bukan asli dari Nusantara.
Untuk itu diperlukan sebuah konsepsi yang mampu mengatasi kebekuan spiritual dan amnesia kolektif akan jati diri bangsa yang sebenarnya di tengah ancaman perpecahan bangsa. Konsepsi yang tidak boleh berakhir pada level wacana, sehingga perlu upaya aktualisasi yang tidak melanggar konstitusi. Singkatnya, konsepsi yang harus kembali dianut adalah ideologi yang telah menjadi konvensi nasional para pendiri bangsa ini. Tak lain konsepsi yang dimaksud adalah Pancasila. Olehnya itu, upaya reinterpretasi, reinternalisasi, serta reaktualisasi nilai-nilai Pancasila menjadi relevan adanya di tengah anomali kehidupan sosial saat ini.
Gotong Royong Dalam Pancasila
Di tengah segala perbedaan yang ada, kita patut bersyukur bisa disatukan dalam konsep Indonesia yang menganut Pancasila sebagai pedoman dasarnya. Mengacu pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita perlu menyadari akan anugerah yang diberikanNya, sebab atas nama Tuhan Yang Maha Esa kita bisa disatukan untuk bisa menuju Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan cara bergotong royong. Dengan demikian, hubungan antara Gotong Royong dengan Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak boleh dipisahkan.
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran Soekarno perihal cita-citanya untuk mewujudkan sebuah bangsa yang menjadikan gotong royong sebagai jati dirinya. Sebagaimana amanat beliau menjelang lahirnya bangsa Indonesia. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!”, tegasnya di depan peserta sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
Adanya persamaan beban yang dirasakan bersama-sama adalah embrio sifat solidaritas yang akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan antara sesama anak bangsa. Beratnya beban yang dipikul tidak akan lagi terasa berat ketika diselesaikan secara gotong royong. Alhasil, permasalahan dan seberat dan sesulit apapun pasti akan mampu diselesaikan dengan cara ini. Kekuatan inilah yang pernah menjadikan bangsa Nusantara sebagai bangsa yang disegani oleh bangsa lain, terutama pada masa Sriwijaya dan Majapahit.
Gotong royong adalah sebuah sarana untuk mempersatukan berbagai macam perbedaan. Karena memang persatuan dan kesatuan adalah syarat utama yang menentukan kuat atau tidaknya sebuah bangsa mampu bertahan dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia, yang juga menentukan apakah bangsa Indonesia mampu berada di atas segala bangsa atau tidak. Berbagai macam perbedaan yang ada pada teritorial suatu bangsa sepatutnya dapat disatukan melalui penyatuan visi dan misi yang berlandaskan kebenaran universal, dan hal tersebut sudah menjadi komposisi utama Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar