Senin, 16 Maret 2015

Jumat, 13 Maret 2015

Makna Gotong Royong

OPINI | 27 February 2014 | 01:25 Dibaca: 3000   Komentar: 0   0
13934390031298564850
Ilustrasi oleh: Saharudin Dae
“Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua”.
Demikian sepenggal ungkapan pidato Presiden Soekarno untuk menjadikan gotong royong sebagai landasan semangat membangun bangsa. Hal itu disampaikannya kepada seluruh peserta sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
Gotong royong bukanlah pameo asing di negeri ini, sudah sejak dulu para leluhur kita menjadikannya sebagai budaya bangsa. Wujudnya bisa dalam bentuk kerja bakti membangun sarana umum, membersihkan lingkungan, tolong menolong saat pesta pernikahan atau upacara adat, dan bahkan tolong menolong saat terjadi bencana alam. Biasanya bentuk pertolongan yang diberikan berupa bahan makanan, uang, dan tenaga.
Namun, derasnya arus globalisasi menjadikan aktualisasi dari pameo tersebut terseret jauh dari kehidupan masyarakat saat ini, gotong royong menjadi asing untuk disaksikan keberadaannya saat ini. Kita perlu jujur dan tidak lagi berpura-pura menutup mata pada kenyataan hari ini, bahwa gotong royong telah menjadi ‘budaya langka’. Benarkah demikian? Lantas, dimanakah ia kini berada? Mengapa nilai luhur yang pernah menjadi jati diri bangsa kini menjadi asing di negerinya sendiri?
Untuk menjawabnya, mari kita awali dengan membahas subjek dari topik ini terlebih dulu, yaitu manusia. Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani mengemukakan pendapatnya bahwa sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia senantiasa saling membutuhkan satu sama lainnya guna mewujudkan keselarasan hubungan antara sesama anggota masyarakat lainnya. Artinya, di dalam setiap diri manusia pasti terdapat jiwa sosial, atau naluri saling membutuhkan satu sama lain. Dari urusan lahir hingga urusan liang lahat, manusia tidak bisa mengurusnya seorang diri. Hal inilah yang menjadi fitrah dari setiap manusia sebagai individu sekaligus mahluk sosial. Dengan demikian, paham individualisme yang selalu melihat segala hal dari kacamata ‘aku’, atau menonjolkan ego pribadi tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai mahluk sosial.
Pudarnya Budaya Gotong Royong
Seiring berjalannya waktu, semangat kebersamaan pasca kemerdekaan Indonesia seolah terpinggirkan, dikucilkan atau disudutkan hanya kepada penduduk di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat kota. Seolah istilah gotong royong menjadi ‘frasa kampungan’ bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kota. Masyarakat kota cenderung mengandalkan dinas kebersihan untuk urusan kebersihan atau satpam/hansip untuk urusan keamanan lingkungan. Sehingga gotong royong seolah hanya cocok diterapkan di wilayah perkampungan saja, sedangkan masyarakat kota tidak perlu lagi menerapkannya.
Salah satu sebabnya adalah adanya miskonsepsi dari sebuah istilah populer “modernisasi”. Istilah modernisasi sepatutnya membantu tercapainya tujuan bersama, bukan melahirkan para individualis yang hanya selalu mengedepankan ego sesaat mereka. Apakah itu ego dalam bentuk mengejar kepuasan materi, seksual dan gengsi (red: posisi/jabatan), pastinya ketiga hal itu tidak akan pernah terpuaskan. Ibarat menyiram bara api dengan minyak tanah yang hanya akan membuat api menjadi lebih besar, seperti itulah para manusia individualis mengejar tujuan hidupnya yang tidak pernah terpuaskan.
Manusia yang belajar dari pengalaman hidupnya pasti akan menemukan bahwa hidup bermasyarakat secara damai dan penuh keselarasan adalah suatu kebutuhan yang kemudian akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Mengutip pendapat Umar Kayam di majalah Prisma No. 3 Th XVI 1987:
Bahwa sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak, ketika pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, maka pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap yang lain.
Hal tersebut menjelaskan bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang mendambakan keselarasan berujung perdamaian, bukan kekerasan berujung perpecahan seperti yang sering terjadi hari ini. Berdasarkan pengalamannya, akhirnya manusia memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya diperlukan upaya bekerja bersama orang lain, atau upaya interaksi yang dibatasi oleh koridor tatanan yang berlaku pada masyarakat di lingkungan tempatnya menetap.
Namun pada kenyataannya, sudah begitu banyak yang menyerukan pesan cinta damai, tapi yang terjadi justru “perang” semakin ramai. Mengapa terjadi hal yang demikian? Bukankah setiap agama di dunia mengajarkan perdamaian? Tapi kenapa pertikaian atau konflik berujung tindak kekerasan begitu mudah ditemui, bahkan semakin ironis ketika agama justru menjadi salah satu pemicunya. Seperti apa yang pernah terjadi di Poso, Maluku, Madura, dan Aceh pada level nasional, dan di Palestina, Afghanistan, Irak, Mesir dan Suriah pada level internasional.
Sekali lagi, kenyataan membuktikan bahwa hari ini telah terjadi kebekuan spiritual yang menyebabkan hubungan kasih antara sesama manusia menjadi dingin. Apabila kebekuan spiritual tersebut tidak segera dicairkan, maka budaya kekerasan akan senantiasa mewarnai hidup dan kehidupan manusia seterusnya. Hal itu akan terus terjadi selama masih ada sekumpulan manusia yang menyampaikan kebenaran versi golongannya masing-masing, terlebih dengan cara memaksa. Sehingga friksi berujung konflik pasti akan terus terjadi.
Jika hal yang demikian terus terjadi, lantas kemanakah fitrah manusia yang katanya “mahluk sosial” dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi? Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda, berbangsa-bangsa, bersuku-suku untuk saling mengenal? Perihal ini, ada beberapa pendapat yang dikemukakan para pakar untuk menjawab persoalan ini, diantaranya adalah pakar antropologi, Koentjaraningrat. Beliau menjelaskan bahwa seringkali yang menjadi faktor pemicu konflik adalah adanya unsur pemaksaan paham/keyakinan suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya. Biasanya, unsur pemaksaan ini terjadi karena adanya pola pikir sempit atau “fanatisme buta” para penganutnya yang menjadikan mereka lupa memaknai istilah “mahluk sosial”.
Terbentuknya pola pikir tersebut bukan tanpa sebab. Era digital atau teknologi informasi saat ini adalah salah satu yang saat ini relevan untuk turut membidani lahirnya pola pikir tersebut. Yasraf Amir Piliang, di dalam bukunya yang berjudul Dunia Yang Berlari: Mencari Tuhan-Tuhan Digital, menuliskan bahwa setidaknya ada tiga tingkat yang mengubah cara kita melihat manusia sebagai mahluk sosial, bahkan cara kita memaknai istilah “sosial”.
Pertama, pada tingkat individu, teknologi informasi telah mengubah pemahaman kita tentang identitas. Media komunikasi yang dijembatani oleh komputer telah melenyapkan batas-batas identitas. Di dalamnya setiap orang bisa menjadi  orang lain, atau seakan-akan menjadi beberapa orang yang berbeda pada waktu bersamaan. Kekacauan identitas tersebut akan mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas, dan gaya hidup setiap orang. Singkatnya, teknologi informasi yang telah membidani lahirnya dunia maya, rentan menjadi dunia yang anonim (tanpa identitas). Dan pada tingkat individu, media komunikasi dalam era teknologi informasi dapat menciptakan satu ketergantungan. Ia dapat menjadi semacam “candu” yang dapat menciptakan “kecanduan komunikasi”, sehingga orang dapat berjam-jam duduk di belakang komputer, hanyut di dalam dunia maya internet.
Kedua, pada tingkat “interaksi antar-individual” atau “interaksi sosial”. Interaksi sosial di dunia maya cenderung tidak dilakukan di dalam sebuah ruang teritorial (tempat) yang nyata (dalam pengertian konvensional), akan tetapi terjadi dalam sebuah halusinasi teritorial. Di dalam halusinasi teritorial tersebut, orang boleh jadi lebih mengenal seorang teman dekatnya di internet yang tinggalnya ribuan kilometer, ketimbang tetangga dekatnya sendiri. Bahkan, boleh jadi ia lebih mengenal “saudara”-nya di internet ketimbang “saudara” kandungnya sendiri.
Ketiga, pada tingkat “komunitas virtual”. Perbedaan mendasar antara komunitas tradisional dan komunitas virtual adalah bahwa pada komunitas tradisional atau masyarakat pada umumnya memiliki konvensi (kesepakatan) sosial atau aturan/hukum seperti hukum adat, memiliki lembaga hukum (yudikatif), serta memiliki pemimpin. Sedangkan pada komunitas virtual, pemimpin, aturan main dan kontrol sosial yang demikian boleh dikatakan tidak ada. Setiap orang seakan menjadi pemimpin, pengontrol, dan penilai dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian berkembang menjadikan komunitas virtual rentan melahirkan masyarakat “anarkis”, karena di dalamnya “apa pun boleh”. Tidak ada batasan hukum, tidak ada batasan moral, bahkan tidak ada batasan sama sekali. Dengan demikian, komunitas ini dianggap sangat rapuh, bahkan berpotensi untuk memicu suasana chaos (tidak teratur).

Konsekuensi Massal Jika Gotong Royong Ditinggalkan
Memudarnya nilai gotong royong dapat terjadi apabila rasa kebersamaan mulai menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi bersifat sukarela, bahkan hanya dinilai dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk keuntungan materi, akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi mereka yang memiliki dan membayar dengan uang. Kondisi yang serba materi seperti saat ini telah menjadikan nilai-nilai kebersamaan yang luhur semakin luntur dan tidak lagi bernilai.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, tentu kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi jika gotong royong semakin tersingkirkan, digantikan nilai-nilai individualisme yang lahir dari perkawinan antara kapitalisme dan neoliberalisme. Apa yang  terjadi kemudian adalah semakin mudahnya bangsa ini dipecah-belah, dikotak-kotakan, dan diadu-domba oleh pihak asing yang tentu akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Imbasnya, warna merah putih yang sejatinya identitas kita akan terancam pudar, seiring dengan pudarnya semangat gotong royong itu sendiri.
Senada dengan hal tersebut, Djuyoto Suntani telah menuangkan gagasannya dalam buku berjudul Tahun 2015, Indonesia “Pecah”. Menurutnya, Indonesia kini juga sedang digarap untuk dipecah-pecah menjadi sekitar 17 negara bagian oleh kekuatan kelompok kapitalisme dan neoliberalisme, yang berakar pada paham sekularisme. Sebabnya adalah tidak ada figur atau tokoh pemersatu yang berperan menjadi Bapak Seluruh Bangsa, pertengkaran sesama anak bangsa yang terus terjadi di tengah upaya strategis dari konspirasi global, dan adanya nama Indonesia yang bukan asli dari Nusantara.
Untuk itu diperlukan sebuah konsepsi yang mampu mengatasi kebekuan spiritual dan amnesia kolektif akan jati diri bangsa yang sebenarnya di tengah ancaman perpecahan bangsa. Konsepsi yang tidak boleh berakhir pada level wacana, sehingga perlu upaya aktualisasi yang tidak melanggar konstitusi. Singkatnya, konsepsi yang harus kembali dianut adalah ideologi yang telah menjadi konvensi nasional para pendiri bangsa ini. Tak lain konsepsi yang dimaksud adalah Pancasila. Olehnya itu, upaya reinterpretasi, reinternalisasi, serta reaktualisasi nilai-nilai Pancasila menjadi relevan adanya di tengah anomali kehidupan sosial saat ini.
Gotong Royong Dalam Pancasila
Di tengah segala perbedaan yang ada, kita patut bersyukur bisa disatukan dalam konsep Indonesia yang menganut Pancasila sebagai pedoman dasarnya. Mengacu pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita perlu menyadari akan anugerah yang diberikanNya, sebab atas nama Tuhan Yang Maha Esa kita bisa disatukan untuk bisa menuju Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan cara bergotong royong. Dengan demikian, hubungan antara Gotong Royong dengan Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak boleh dipisahkan.
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran Soekarno perihal cita-citanya untuk mewujudkan sebuah bangsa yang menjadikan gotong royong sebagai jati dirinya. Sebagaimana amanat beliau menjelang lahirnya bangsa Indonesia. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!”, tegasnya di depan peserta sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
Adanya persamaan beban yang dirasakan bersama-sama adalah embrio sifat solidaritas yang akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan antara sesama anak bangsa. Beratnya beban yang dipikul tidak akan lagi terasa berat ketika diselesaikan secara gotong royong. Alhasil, permasalahan dan seberat dan sesulit apapun pasti akan mampu diselesaikan dengan cara ini. Kekuatan inilah yang pernah menjadikan bangsa Nusantara sebagai bangsa yang disegani oleh bangsa lain, terutama pada masa Sriwijaya dan Majapahit.
Gotong royong adalah sebuah sarana untuk mempersatukan berbagai macam perbedaan. Karena memang persatuan dan kesatuan adalah syarat utama yang menentukan kuat atau tidaknya sebuah bangsa mampu bertahan dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia, yang juga menentukan apakah bangsa Indonesia mampu berada di atas segala bangsa atau tidak. Berbagai macam perbedaan yang ada pada teritorial suatu bangsa sepatutnya dapat disatukan melalui penyatuan visi dan misi yang berlandaskan kebenaran universal, dan hal tersebut sudah menjadi komposisi utama Pancasila.

Pengertian Lingkungan Masyarakat Menurut Para Ahli

Berbicara mengenai lingkungan masyarakat tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Terlebih kita sendiri berada dalam lingkungan masyarakat. Entah kita sedang di pedesaan, perkampungan atau perkotaan kita tetap hidup di dalam suatu lingkungan dengan masyarakat lain. Lingkungan masyarakat adalah tempat kita untuk bersosialisasi dengan orang lain. Karena sebagai manusia kita merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Ada beberapa pengertian lingkungan masyarakat menurut para ahli, diantaranya adalah:
  • St. Munajat Danusaputra
Lingkungan merupakan kondisi yang didalamnya terdapat manusia dan aktivitasnya. Lingkungan masyarakat mempengaruhi kesejahteraan manusia dan tingkah laku manusia yang tinggal didalamnya.
  • Paul B. Horton
Dalam lingkungan masyarakat terdapat manusia-manusia yang terbilang mandiri, sudah tinggal bersama-sama dalam jangka waktu yang cukup lama, berdiam pada satu wilayah dan memiliki kesamaan budaya. Sebagian besar dari mereka melakukan kegiatan yang sama dan berkomunikasi satu sama lain.

Pengertian Lingkungan Masyarakat Menurut Para Ahli

  • Soerjono Soekanto
  1. Jumlah manusia yang hidup bersama sebanyak dua orang atau lebih
  2. Tinggal bersama dalam waktu yang cukup lama
  3. Menyadari bahwa mereka adalah kesatuan
  4. Memiliki sistem untuk hidup bersama karena merasa terkait antara satu sama lain
  • Peter L. Berger
Lingkungan dalam masyarakat harus didukung oleh masyarakat yang memiliki keseluruhan kompleks dan terdiri dari bagian-bagian  yang menyatukan mereka.
  • Robert Maciver
Dalam lingkungan masyarakat harus sistem hubungan yang sudah ditertibkan.
Yang dimaksud adalah ‘manusia yang tinggal dalam satu lingkungan memiliki tujuan yang sama’ adalah tujuan untuk tinggal dan hidup di wilayah tersebut dengan nyaman. Jika sudah sama-sama memiliki rasa nyaman, manusia akan membentuk perkumpulan atau organisasi dengan anggota yang lebih kecil. Organisasi dalam masyarakat dibentuk oleh dua orang atau lebih yang memiliki visi dan misi yang serupa. Untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang aman diperlukan campur tangan masyarakat itu sendiri untuk bergotong royong mewujudkan kenyamanan di tempat tinggalnya. Tentu diperlukan hukum atau aturan yang mengatur lingkungan masyarakat agar tidak terjadi perselisihan.
 http://www.duniapelajar.com/2014/08/02/pengertian-lingkungan-masyarakat-menurut-para-ahli/

Museum Konferensi Asia Afrika
Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18 sampai dengan 24 April 1955 mencapai kesuksesan besar, baik dalam mempersatukan sikap dan menyusun pedoman kerja sama di antara bangsa-bangsa Asia Afrika maupun dalam ikut serta membantu terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia. Konferensi ini melahirkan Dasa Sila Bandung yang kemudian menjadi pedoman bangsa-bangsa terjajah di dunia dalam perjuangan memperoleh kemerdekaannya dan yang kemudian menjadi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Kesuksesan konferensi ini tidak hanya tampak pada masa itu, tetapi juga terlihat pada masa sesudahnya, sehingga jiwa dan semangat Konferensi Asia Afrika menjadi salah satu faktor penting yang menentukan jalannya sejarah dunia. Semua itu merupakan prestasi besar yang dicapai oleh bangsa-bangsa Asia Afrika.

Jiwa dan semangat Konferensi Bandung telah berhasil memperbesar volume kerja sama antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika, sehingga peranan dan pengaruh mereka dalam hubungan percaturan internasional meningkat dan disegani. Dalam rangka membina dan melestarikan hal tersebut, adalah penting dan tepat jika Konferensi Asia Afrika beserta peristiwa, masalah, dan pengaruh yang mengitarinya diabadikan dalam sebuah museum di tempat konferensi itu berlangsung, yaitu di Gedung Merdeka di Kota Bandung, kota yang dipandang sebagai ibu kota dan sumber inspirasi bagi bangsa-bangsa Asia Afrika. Sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., sering bertemu muka dan berdialog dengan para pemimpin negara dan bangsa Asia Afrika. Dalam kesempatan-kesempatan tersebut beliau sering mendapat pertanyaan dari mereka tentang Gedung Merdeka dan Kota Bandung tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Berulang kali pembicaraan tersebut diakhiri oleh pernyataan keinginan mereka untuk dapat mengunjungi Kota Bandung dan Gedung Merdeka.

Terilhami oleh hal tersebut serta kehendak untuk mengabadikan Konferensi Asia Afrika, maka lahirlah gagasan beliau untuk mendirikan Museum Konperensi Asia Afrika di Gedung Merdeka ini. Gagasan tersebut dilontarkan dalam forum rapat Panitia Peringatan 25 tahun Konferensi Asia Afrika (1980) yang dihadiri antara lain Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Soebadio sebagai wakil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ternyata gagasan itu mendapat sambutan baik, termasuk dari Presiden RI Soeharto. Gagasan pendirian Museum Konperensi Asia Afrika diwujudkan oleh Joop Ave sebagai Ketua Harian Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, bekerja sama dengan Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat, dan Universitas Padjadjaran. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh PT. Decenta, Bandung. Museum Konperensi Asia Afrika diresmikan berdirinya oleh Presiden RI Soeharto pada tanggal 24 April 1980 sebagai puncak peringatan 25 tahun Konferensi Asia Afrika. GEDUNG MERDEKA (Tempat Berlangsungnya Konferensi Asia Afrika). Tahun 1895 Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia Afrika Nomor 65 Bandung, dibangun pertama kali pada tahun 1895 sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di Bandung dan sekitarnya. Banyak di antara mereka adalah pengusaha kebun teh dan opsir Belanda. Mereka mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal dengan nama Societeit Concordia pada tanggal 29 Juni 1879. Tujuannya adalah "de bevordering van gezellig verkeera". Sebagai tempat pertemuan, sebelumnya mereka biasa berkumpul, duduk-duduk sambil minum teh, di Warung De Vries.

Selanjutnya (1895) mereka pindah ke gedung di seberang Warung De Vries, yang diberi nama Concordia, dengan luas tanah 7.983 meter persegi. Pada tahun tersebut tempat ini hanya berupa bangunan sederhana, yang sebagian dindingnya terbuat dari papan dan penerangan halamannya memakai lentera minyak tanah. Bangunan ini berada di sudut jalan "Groote Postweg" (sekarang Jalan Asia Afrika) dan "Bragaweg" (sekarang Jalan Braga). Sisi sebelah kanannya berdekatan dengan kali Tjikapoendoeng (Cikapundung) yang sejuk karena banyak ditumbuhi pohon rindang. TAHUN 1921 Gedung Societeit Concordia dibangun kembali pada tahun 1921 dengan gaya arsitektur modern (Art Deco) yang fungsional dan lebih menonjolkan struktur oleh perancang C.P. Wolff Schoemaker. Gedung ini berubah wajah menjadi gedung pertemuan "super club" yang paling mewah, lengkap, eksklusif, dan modern di Nusantara. Lantainya terbuat dari marmer buatan Italia. Ruangan-ruangan tempat minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout. Penerangannya menggunakan lampu-lampu hias kristal. Ruangan-ruangan dalam gedung cukup memadai untuk menampung kegiatan-kegiatan pertunjukan kesenian. Luas seluruh tanahnya 7.500 m2.

Tahun 1940 Societeit Concordia kembali mengalami perombakan pada tahun 1940 dengan gaya arsitektur International Style dengan bantuan arsitek A.F. Aalbers. Bangunan gaya arsitektur ini bercirikan dinding tembok plesteran dengan atap mendatar, tampak depan bangunan terdiri dari garis dan elemen horizontal, sedangkan bagian gedung bercorak kubistis. Pada masa pendudukan tentara Jepang (1942-1945), Gedung Societeit Concordia berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan dan difungsikan sebagai pusat kebudayaan. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gedung tersebut dijadikan markas para pemuda Indonesia di Bandung guna menghadapi tentara Jepang yang tidak bersedia menyerahkan kekuasaannya.

Sekitar tahun 1949, sejak pemerintahan pendudukan, Gedung Societeit Concordia diperbaiki dan difungsikan kembali sebagai Societeit Concordia, tempat pertemuan orang-orang Eropa (termasuk juga beberapa orang Indonesia). Di gedung ini kembali seperti biasa diselenggarakan lagi pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum lainnya. TAHUN 1955 Sehubungan dengan keputusan pemerintah Indonesia (1954) yang menetapkan Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Societeit Concordia terpilih sebagai tempat berlangsungnya konferensi. Hal ini disebabkan gedung tersebut adalah gedung tempat pertemuan umum yang paling besar dan paling megah di Bandung. Selain itu lokasinya berada di tengah-tengah kota dan berdekatan dengan hotel terbaik, yaitu Hotel Savoy Homann dan Preanger.

Sejak awal tahun 1955, Gedung Societeit Concordia mulai dipugar untuk disesuaikan kegunaannya sebagai tempat penyelenggaraan konferensi bertaraf internasional. Pemugaran gedung ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh Ir. R. Srigati Santoso. Menjelang konferensi (7 April 1955), gedung ini diganti namanya oleh Presiden Soekarno menjadi Gedung Merdeka. Untuk informasi lebih lajut, silakan kunjungi website resmi Museum Konferensi Asia Afrika.
Historical Building Museum of The Asian-African Conference Pictures The Asian-African Conference which was held on 18th to 24th April 1955 in Bandung gained a big success both in formulating common concerns and in preparing operational guidance for cooperation among Asian African Nation as well as in creating world order and world peace. The conference has had a result Dasasila Bandung, which became the guideline for the colonized countries in fighting for their independence. It also became the fundamental principles in promoting world peace and international cooperation. The success of the conference was not only for the time being but also for the time after so that the soul and spirit of the Asian-African Conference becomes one of the most important factor that deciding world history. All is a huge prestige that gained by the Asian African Nations.

The spirit of Bandung had succeeded in widening the work volume among Asian African Nations. As a consequence, their influence and their role in international cooperation are increased and more respected. In order to maintain those mentions above, it is important if the Asian-African Conference with its event is maintained eternally in a museum where the conference was held, Gedung Merdeka, Bandung, a city that is considered as a capital city and a source of inspiration for the Asian-African Nations. As a Minister of Foreign Affairs, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., often met and got involved in some discussions with some of the Asian African Leaders. They frequently asked him about Gedung Merdeka and City of Bandung, which was the venue of the Asian-African Conference. The discussions were always ended with their wishes to be able to visit Bandung and Gedung Merdeka.

Inspired by desires to eternalize the Asian-African Conference, the idea of establishing a Museum of the Asian-African Conference in Gedung Merdeka was born by Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.. The idea was delivered in the meeting of the Committee for the Commemoration of the 25th Anniversary of the Asian-African Conference (1980), which was attended by Directorate General of Culture, Prof. Dr. Haryati Soebadio as a representative for the Department of Culture and Education. Fortunately, the idea was fully supported including President of the Republic of Indonesia, Soeharto. The idea of establishing the Museum of the Asian-African Conference had been materialized by Joop Ave, the Executive Chairman of the Committee of the 25th Anniversary of the Asian-African Conference and Director General of Protocol and Consular in the Department of Foreign Affairs in cooperation with Department of Information, Department of Education and Culture, the Provincial Government of West Java, and Padjadjaran University. The technical planning and its execution was carried out by PT Decenta, Bandung. The Museum of the Asian-African Conference was inaugurated by President of the Republic of Indonesia, Soeharto on 24th April 1980 as the culmination of the 25th Anniversary of the Asian-African Conference. Gedung Merdeka (The Venue of the Asian African Conference) YEAR 1895 Gedung Merdeka located on Jalan Asia Afrika Number 65Bandung was built in 1895 as a meeting place for European people, especially who lived in Bandung and its surroundings. Most of them were the owner of the tea plantation and Dutch officers. They established a society which was well known as Societeit Concordia on 29th June 1879. The purpose of the society was "de bevordering van gezellig verkeer". As a meeting place, at first they used to gather having some tea in the Warung De Vries.

Afterwards, (1895) they moved in to a building opposite to the Warung De Vries, named Concordia which takes 7.983 meter square. In that year, the building was a simple one which its walls were made of wood and the source of its light at night were only gasoline lanterns. The building was located in the corner of "Groote Postweg" (now Jalan Asia Afrika) and "Bragaweg" (now Jalan Braga). Its left wing is next to Tjikapoendoeng River (Cikapundung) which was very comfortable since there were many thick trees grew. YEAR 1921 Societeit Concordia Building was rebuilt in 1921 in a more functional and structural modern architecture (Art Deco) by designer C. P Wolff Schoemaker. The building modified its fade and became the most luxurious, complete, exclusive and modern "super club" building in Indonesia. The floors were made of Italian marbles. The bar and common room were made of cikenhout wood, while the gorgeous crystal chandeliers were the lamplights. The rooms inside the building had a capacity to accommodate various art performances. The land covered 7,500 m2.

Year 1940 Societeit Concordia was renovated again in 1940 with new international style architecture with the help of Architect A. F Aalbers. This new architecture style was marked by plasterboard with a flat roof. The front part of the building consisted of lines and horizontal elements, while inside of the building was dominated by cubism style. During the Japanese occupation (1942-1945), the name of Societeit Concordia Building was changed into Dai Toa Kaikan and functioned as the cultural centre. After Indonesian proclamation of independence on August 17, 1945, the building was used as the headquarter of Indonesian youth in Bandung in order to fight the Japanese troops who were not willing to surrender.

Since 1949, in the occupation government, Societeit Concordia Building was renovated and refunctioned as Societeit Concordia, the gathering place of Europeans (including some of Indonesians) The building was again used for art performances, parties, restaurants and other gatherings as well. Year 1955 Regarding Indonesian Government decree (1954) to inaugurate Bandung as the city of Asian-African, Societeit Concordia Building was chosen as the venue for the conference, because it was the biggest and most luxurious building in Bandung. Furthermore, it was located in the middle of the city and close to the best hotels in town, Savoy Homann and Preanger Hotel.

Since the beginning of 1955, Societiet Concordia Building was started to be renovated to accommodate its function as the venue for international conference. The renovation was managed by Department of Public Works, Province of West Java, headed by Ir. R. Srigati Santoso. Prior to the conference, the building was renamed by President Soekarno and became Gedung Merdeka (April 7, 1955).

 http://www.bandungtourism.com/tododet.php?q=Museum%20Konferensi%20Asia%20Afrika